Rabu, 27 Juni 2012

7 Luka Di Hari Ulang Tahunku


TUJUH LUKA DI HARI ULANG TAHUNKU



Sehari sebelum ulang tahun ku
Aku terjatuh di selokan besar
Ada tujuh luka membekas, berdarah
Aku mencoba tertawa malah meringis



                                    Sehari sebelum ulang tahun ku
                                    Negri ku masih juga begitu
                                    Lebiih dari tujuh luka membekas
                                    Kemiskinan,kejahatan,korupsi dimana-mana,
                                    Pngngguran menjadi pandangan yg meletihkan mata
                                    Dan menyakitkan hati



Tapi.....
Ada yang seperti lucu di negri ku
Orang yang ketahuan berbuat jahat
Tidak selalu di hukum
Namun orang baik bisa di penjara



                                    Pada ulang tahun ku yang kedelapan
                                    Aku berdiri di sini dengan tujuh luka
                                    Sambil membayangkan indonesia raya
                                    Dan selokan besar itu
                                    Tiba-tiba aku ingin menangis

CerPen Tentang IBU


IBU 
 
            Darahku mendadak berdesir deras, detak jantungku mengencang, seperti sebuah firasat yang tak kusuka. Apa pun yang terjadi pada Ibu, aku terima.Vira masih diam. Padahalsudah dua jam kami di sini, menikmati teriakan-teriakan ombak, menyaksikan angin melempar ribuan buih menjauh dari pantai. Aku tak tahu apa yang ada di kepalanya, Vira lebih suka membiarkanku berpikir sendiri daripada membagi apa yang ia rasakan.
“Aku mau pulang,” ujarku bosan.

Vira tak menanggapi.“Sudahlah, Sayang. Lupakan kesalahannya, ibu hanya manusia biasa yang bisa khilaf,” kucoba membujuk Vira.
“Tapi aku malu, Kak. Kita ini anak-anak tak jelas, punya ibu tanpa tahu siapa bapaknya.” Vira melempar lagi beberapa kerikil ke laut.
“Ibu pasti punya alasan kuat kenapa beliau begitu, kita tanyakan saja nanti.”
“Aku sudah sering melakukannya, dan yang kudapat kemudian adalah hal yang sama. Dia marah. Selalu begitu!”

          Aku mendesah panjang. Adikku Vira yang kini sudah bukan siswi SMA lagi ternyata belum juga dewasa. Ia ingin segala sesuatu terlihat apa adanya, mengalir begitu saja. Padahal hidup tak selamanya semudah dan sesimpel itu, tapi sulit menjelaskan padanya. Vira tetap saja bungsu yang rapuh dan manja.

          “Pulanglah, Kak. Aku ingin di sini lebih lama,” lirih Vira berucap.“Hari sudah sore, nanti Ibu mencemaskan kita.”“Tidak, dia tak pernah peduli. Aku ingin ketenangan di sini.”“Bukan di sini mencari ketenangan, Vira, ayolah!,” aku menarik tangannya lembut. Walau sempat menolak, akhirnya Vira luluh juga.

          Sepanjang perjalanan menuju mobil, Vira menggelayut di lenganku. Orang-orang yang melihat pasti mengira kami adalah pasangan kekasih, siapa sangka, dua orang yang sama sekali tak mirip ini lahir dari rahim yang sama? Vira memang lebih dekat denganku daripada dengan Mbak Mia, saudara kami satu lagi. Mbak Mia telah bersuami dan tinggal di rumahnya sendiri. Pada saat pernikahan kakak sulung kami itulah terkuak bahwa ternyata bapak dari aku, Vira, dan Mbak Mia adalah orang yang berbeda. Tentu saja kami semua terpukul.

          Entah bagaimana bisa ibu membohongi kami begitu lamanya, entah apa yang beliau lakukan hingga bisa memasukkan nama fiktif seseorang pada akta kelahiran ketiga anaknya, dan entah apa yang bisa ibu lakukan untuk mengembalikan perhatian Mbak Mia dan keceriaan Vira. Dua saudaraku memang serta merta memperlihatkan kekecewaan mereka pada ibu. Bukan hanya karena mereka perempuan – yang seringkali mengedepankan emosi daripada logika – tapi memang karena merekalah yang merasakan langsung imbas dari aib ini.

          Menjelang pernikahannya, Mbak Mia mendesak ibu untuk memberitahu alamat Pak Suhairi, orang yang namanya tertera pada akta kelahiran kami. Dulu ibu pernah bilang bahwa mereka telah bercerai, dan untuk menambal kebohongannya, belakangan ibu bilang Pak Suhairi telah meninggal, padahal sebelumnya ibu mengatakan tak pernah lagi melakukan kontak dengan orang yang beliau akui sebagai bapak kami itu. Lalu dari mana beliau tahu Pak Suhairi meninggal?.

          Usut punya usut, ternyata Pak Suhairi hanyalah kekasih Ibu di masa lampau, ia tak bisa – menurutku tak bersedia – menghadiri pernikahan putrinya karena sedang berada di luar negeri. Pak Suhairi cuma menyampaikan permintaan maaf dan selamat kepada Mbak Mia, sekaligus memberi pernyataan tegas bahwa ia hanya bapak dari Mbak Mia, bukan aku dan Vira. Pantas kami tak mengenal kakek atau nenek selain dari pihak Ibu.

          Aku tak peduli semua itu. Bagiku hidup harus terus berjalan, toh semua sudah terjadi. Perbaiki saja yang bisa diperbaiki, dan jangan mengulang kesalahan serupa yang pernah diperbuat di masa lampau. Seburuk apa pun ibu, beliau tetaplah ibuku, yang kurasakan cintanya dari dulu hingga kini. Tapi tidak begitu bagi dua saudaraku.

          Tiba di rumah, Vira langsung mengunci diri di kamar. Kulihat ibu pura-pura tak menyadari kehadiran kami. Aku tahu, beliau sedang berusaha menekan rasa sakit atas perlakuan dua anak perempuannya. Tubuh yang kini ringkih itu menyandar lemah di kursi santai ruang tengah, matanya menerawang, mungkin sedang memandang ke masa lalunya yang kurasa pahit.
“Ibu,” sapaku.

          Beliau menoleh, senyum lembutnya mengembang terpaksa.
          “Maafkan Vira dan Mbak Mia, Bu.” Kuambil tangan ibu yang tak lagi halus, dan meletakkannya ke atas pangkuanku.

“Memang sudah sepantasnya begitu. Ibu ingin memberitahu sesuatu padamu, To.”
          “Tidak perlu, Bu. Ibu tidak usah menjelaskan apa-apa. Anto tetap sayang Ibu, Anto tidak akan pernah menebak yang macam-macam tentang masa lalu Ibu, seperti yang Mbak Mia dan Vira tuduhkan.”
“Tapi itulah kenyataannya, Nak.” Sontak airmata ibu mengalir.

          Aku terperangah tak percaya. Setahuku ibu adalah perempuan yang baik, relijius malah. Mana mungkin ibu bergelut dalam dunia malam seperti yang Mbak Mia dan Vira katakan. Mbak Mia termakan ucapan bapaknya, Pak Suhairi, yang bilang bahwa bapakku dan bapak Vira adalah orang yang berbeda. Tapi laki-laki pengecut itu tak menceritakan selebihnya, hanya membuka aib. Apakah dulu, ketika ia bersama ibuku, ia tak merasakan kebaikan perempuan itu? Mustahil.

          “Dulu, setelah gagal menuntut pertanggungjawaban Suhairi atas Mia, Ibu mencari laki-laki lain yang bersedia menampung kami, karena kakek dan nenek kalian tak mau menerima Ibu kembali,” ibu melanjutkan. “Seorang kenalan kemudian membawa Ibu ke rumahnya, dan tanpa Ibu sadari, ternyata ia menjual Ibu kepada seorang mucikari. Setelah itu…” ibu terisak.

          “Sudahlah, Bu. Jangan diteruskan jika itu menyakitkan,” kucegah Ibu melanjutkan, karena telinga, kepala, dan hatiku merasa tersayat.
“Dengarkan, Nak! Barangkali ini kesempatan terakhir Ibu menyampaikannya.”
“Kenapa Ibu bicara begitu?”
Ibu tak mempedulikan protesku. “Ibu terjebak pelacuran, selama itulah kamu dan Vira lahir.”
Aku terhenyak sesaat, “Demi Tuhan, Anto tidak menyalahkan Ibu, Anto tahu Ibu terpaksa.”

          “Tapi kenapa Ibu tidak mencoba untuk kabur dari sana?” tiba-tiba Vira sudah berada di belakang kami. Kulihat matanya memerah. 
          “Mia disandera mucikari itu, Nak. Ibu baru bisa lepas darinya setelah menyerahkan semua uang yang Ibu kumpulkan dari Mia belum lahir sampai ia memasuki usia sekolah dasar. Itulah sebabnya kalian terlambat masuk sekolah, Ibu harus mengumpulkan uang dulu untuk itu. Tentu saja dengan cara yang lebih baik, menjadi pembantu rumah tangga.”

          Sekonyong-konyong Vira mendekap ibu, airmatanya tumpah. Hatiku bergemuruh, rahangku mengatup kuat menahan ledakannya.
          “Kenapa Ibu menyembunyikan semua itu selama ini?” Vira masih saja bertanya dalam tangisnya.

          “Ibu malu, tapi akhirnya Ibu merasa bersalah telah membohongi kalian. Dan di akhir usia yang takkan lama ini, Ibu minta kalian memaafkan Ibu.”
“Tentu saja kami memaafkan Ibu.” Kucium punggung tangan Ibu yang masih di pangkuanku.

“Sampaikan juga maaf Ibu untuk Mia.”
          “Justru Mbak Mia dan Vira yang seharusnya meminta maaf pada Ibu karena telah berprasangka buruk,” isak Vira makin membuncah.
          Telepon di sebelahku berdering, segera kuangkat, “Halo.”
“Anto, kamu harus cepat memeriksa kesehatanmu,” suara Mbak Mia tergesa.
“Ada apa, Mbak?”
“Kata Pak Suhairi, Ibu terinfeksi ha-i-ve!”
Aku menahan napas sejenak dan membuangnya perlahan.

“Anto, kamu dengar, kan?”
          Kuletakkan gagang telepon, kembali fokus pada Ibu dan Vira. Kedua orang terkasih itu tak perlu tahu kabar apa yang kudapat. Pak Suhairi jangan sampai memperbesar luka dalam diri Ibu karena puluhan tahun silam, apalagi menambah luka itu di masa kini.
“Dari Mbak Mia-mu, kan?”
Aku hanya mengangguk, tak mampu membohongi Ibu dan tak tega pula untuk jujur.
“Apa katanya?”

          “Tidak penting, Bu. Teruskan saja pembicaraan dengan Vira, Anto mau ke dalam dulu.” Aku hendak pamit, tapi Ibu cepat menangkap lenganku.
“Tunggu dulu, ada yang harus Ibu sampaikan sebelum terlambat.”

          Darahku mendadak berdesir deras, detak jantungku mengencang, seperti sebuah firasat yang tak kusuka. Apa pun yang terjadi pada Ibu, aku terima. Sekalipun jika aku turut terinfeksi, tak apa, aku bertekad dalam hati.
“Tak lama lagi Ibu akan meninggalkan kalian, karena…”
“Karena apa, Bu?” Vira memotong tak sabar.
“Ibu positif ha-i-ve.”

Vira terkulai di hadapan Ibu, ia seperti kehabisan tenaga, pun untuk sekadar melanjutkan tangisnya.
          “Tapi tenang saja, Ibu mendapatkannya setelah kalian lahir, dan Ibu sengaja tidak menyusui anak-anak Ibu karena tahu ada penyakit yang bisa saja tertular pada kalian.”

          Andai Mbak Mia ada di sini, bagaimana mungkin ia tidak menangis dan menyesali apa yang telah diperbuatnya pada Ibu. Perempuan paruh baya itu kini tengah menjelang maut, tapi ia tampak tegar. Tentu saja, karena aku dan ibu percaya, dengan atau tanpa penyakit itu, setiap yang bernyawa pasti akan mati.

          Kutekan beberapa tombol di telepon, meminta Mbak Mia untuk mendengarkan langsung kebenaran dari mulut Ibu, bukan dari bapaknya yang tak bertanggungjawab itu. Di sampingku, Vira kian dalam membenamkan kepalanya ke pelukan Ibu.

Foto Ku ( DEGONAL JAYA )






Jawaban Lengkap Quiz Parampaa 1


Jawaban lengkap Quiz Parampaa 1


level 1 : Klik kata “mulai”



level 2 : Pilih Jawaban “A”


level 3 : Pilih lingkaran di atas huruf “i”


level 4 : Pilih Jawaban “AY !!”


level 5 : Pilih Jawaban “B”



level 6 : Temukan kata berwarna “hijau” di antara kata berwarna merah



level 7 : Pilih Jawaban “Jali”

level 8 : Pilih “?” yang mirip dengan soal

level 9 : Ingat kombinasi warna yang ada karena bakal terus dipake, lalu klik “ingat”

level 10 : Pilih Jawaban “…hidup bercermin bangkai”

level 11 : Cari kata “mati” dalam matematika lalu klik

level 12 : Pilih Jawaban “10?

level 13 : Klik “13? pada tulisan level 13

level 14 : Masukkan kombinasi warna “merah-biru-kuning-merah-hijau”

level 15 : Geser mouse keluar layar, maka kepala kucing akan tertunduk, lalu klik “space” pada keyboard

level 16 : Lari ke “ujung kanan atas”

level 17 : “Gerakin cicaknya” sampai tujuan , tapi jangan sentuh warna lain

level 18 : Tulis kata “PANDA”

level 19 : Pilih jawaban “21?

level 20 : Pilih jawaban “D”

level 21 : Pilih jawaban “E”

level 22 : Potong kabel lebar berwarna “merah” di time counter

level 23 : Klik “23? di baris ke-3, ke-3 dr kiri

level 24 : Pilih latar warna “merah-biru-kuning-merah-hijau”

level 25 : Klik “lingkaran orange”, trus klo mau ke lingkaran satunya lg jgn lewat area permainan

level 26 : Klik “persegi panjang yang kiri bawah”

level 27 : Di bawah 3 lambang hati ada seekor “cicak”, tinggal di klik aja

level 28 : Cuma butuh gerakin cursor atas bawah

level 29 : Klo masih baru di level ini susun aja dulu gambarnya, trus ikutin tanda panah yang ke “bulatan”, klik “bulatannya”

level 30 : Pilih jawaban “20?

level 31 : Klik kiri “lingkaran orange” sebelah kiri, drag (jgn dilepasin) ke “lingkaran orange” sebelah kanan. Ada cara lain, lelet

level 32 : Pilih jawaban “TDAJ”

level 33 : Pilih jawaban “100001?

level 34 : Klik 3 “lambang hati” di pojok kanan atas

level 35 : Pencet tombol berwarna “merah-biru-kuning-merah-hijau”

level 36 : Drag tulisan “level 36?, dibelakangnya ada tombol

level 37 : Pilih jawaban “zibba”

level 38 : Tembak kepala “cowo”

level 39 : Pilih jawaban “level 39?

level 40 : Tekan tanda”->” di keyboard

level 41 : Klik tanda “!”

level 42 : “Tunggu” adengan oonnya selesai, jgn klik apa2

level 43 : Klik “NTB (Pulau Lombok)”

level 44 : Klik “1? pada soal 1=5

level 45 : Klik “45? pada tulisan level 45

level 46 : Pianonya memiliki urutan nada C D E F G A B, trus klik nada piano hingga membentuk kata “E G G”

level 47 : Tembak kepala “cowo”

level 48 : Tulis jawaban “11?

level 49 : Klik tulisan “run” sampai kepiting kabur ke kanan

level 50 : Tekan angka “1? di keyboard

level 51 : Lolosin kuncinya, jgn kena area berwarna “hitam”

level 52 : Drag tanda (-) ke tulisan level 52, jadinya “level 5-2?, trus klik tulisannya

level 53 : Tekan huruf “S” di keyboard

level 54 : Pilih jawaban “5?

level 55 : Ketik “anini” di keyboard

level 56 : Geser kata “bulan”, di belakangnya ada jawaban

level 57 : Geser bolak-balik mouse di bawah tanda “!!”

level 58 : Pilih warna “kuning”

level 59 : Pilih warna “kuning-hijau-orange-ungu-hijau-merah”

level 60 : Klik huruf “B” “O” “N” “O”

level 61 : Tekan piano dengan menulis “C A G E”

level 62 : Ga usah ngapa2in

level 63 : Klik tulisan “eve” pada tulisan level 62

level 64 : Pilih jawaban “parampaa”

level 65 : Pilih “Mr. Krab-Smurf-The Simpsons-Mr. Krab-Parampaa”

level 66 : Ketik “one” pada keyboard

level 67 : Klik tanda “.”, lalu klik “matahari”, lalu klik “pohon”

level 68 : Tekan “F1 dan F4? di bagian atas keyboard

level 69 : Klik huruf “A” pada kata heart

level 70 : Pilih jawaban “10?

level 71 : Tahan terus menerus “shift-6? sampe doraemon menghilang

level 72 : Tangkap angka “2?, drag ke samping angka 7

level 73 : Urutan storage awalnya 1-2-3-4-5, ubah ke 2-5-3-4-1

level 74 : Pilih “lingkaran-besar-kuning-tersenyum”

level 75 : Tembak kata “HER”

level 76 : Klik kanan layar, trus klik kiri, biar mousenya kelihatan, tekan bagian tengah “O” pada kata mouse, telusuri lalu klik

level 77 : Drag tulisan “mouse” ke tombol hijau, drag lagi ke persegi di sebelah kiri, klik perseginya

level 78 : Klik “jendela di villa” pas lampunya nyala

level 79 : Tulis “Try Again”

level 80 : Tulis “The Cranberries”

level 81 : Pilih jawaban “13?

level 82 : Pilih “OK”, drag bomnya, klik tulisan yang tertutup bom

level 83 : Tunggu hingga detik “ke-3?, akan ada tulisan “S7OP”, klik tulisan S7OP-nya

level 84 : Ketik “?” pada keyboard

level 85 : Ketik “level 85?, ketik “”, ketik “you’re welcome”

level 86 : Klik “bagian tengah lingkaran bagian bawah pada angka 8? tulisan “level 86?

level 87 : “Tunggu kuncinya masuk” dulu, lalu tekan “enter”

level 88 : Tekan “F8?, trus pilih “safe mode”

level 89 : Klik buku berwarna “Biru-Ungu-Kuning-Ungu”

level 90 : Pilih lambang “omega (kaya’ tapal kuda)” dan “69?

level 91 : Cuma butuh “kelincahan tangan dan kesabaran”

level 92 : Klik warna “hijau-merah-kuning-biru-merah”

level 93 : Hitung dengan cepat jumlah bola berwarna “merah”

level 94 : Klik “Budi”

level 95 : Tunggu sampai “latarnya warna hijau”, trus klik “lanjut”

level 96 : Klik “mata, bintik tangan, duri di kepala, latar merah, rumput”

level 97 : Klik “tombol merah”

level 98 : Butuh kecepatan tangan dan koordinasi mata yg baik, lingkaran terkecil ada di antara “level & 98"



level 99 : Klik orang kedua dari kiri